JAMBI – Jaksa Agung, ST Burhanuddin, menyebut restorative justice kini menjadi merek atau brand kejaksaan. Hal itu diungkap Jaksa Agung saat memantau langsung penghentian penuntutan terhadap dua tersangka yang masuk wilayah Kejaksaan Tinggi Jambi.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif atau restoratif justice ini dilakukan saat Burhanuddin melakukan kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Jambi, Jumat (7/1).
Burhanuddin didampingi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Fadil Zumhana, Kepala Pusat Penerangan Hukum, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Asisten Umum Jaksa Agung, Kuntadi, dan Asisten Khusus Jaksa Agung, Hendro Dewanto.
“Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi didampingi oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum juga menyempatkan waktunya untuk melihat secara langsung pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang dilaksanakan di kantor Kejaksaan Negeri Jambi,” kata Burhanuddin dalam keterangannya melalui Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Minggu (9/1/2022).
Adapun 2 orang tersangka yang diberikan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif, yaitu:
1. Tersangka atas nama Fredi Antanto alias Fredi bin Suparman, yang disangkakan melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP, yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Bungo.
Kasus posisi singkat:
Tersangka terbukti membeli barang hasil kejahatan (penadahan) berupa satu unit handphone Android merek Samsung A50 seharga Rp 1.000.000 (satu juta rupiah).
2. Tersangka atas nama Muhammad Susanto bin Rusli, SM, yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP, yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Merangin.
Kasus posisi singkat:
Tersangka merupakan karyawan dari bengkel Karoseri Famili Raya, telah terbukti mengambil besi rongsokan mobil berupa satu buah potongan body mobil bus dan selanjutnya menjualnya seharga Rp 1.600.000 (satu juta enam ratus ribu rupiah) dan uang hasil penjualan tersebut digunakan oleh tersangka untuk melunasi hutang-hutangnya dan juga digunakan untuk membeli bensin motor.
Burhanuddin menerangkan sebelum diberikan SKP2, kedua tersangka telah lebih dulu didamaikan dengan korban oleh Kepala Kejaksaan Negeri. Perdamaian itu juga disaksikan keluarga korban, tokoh masyarakat maupun dari penyidik dari kepolisian.
“Adapun alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative ini diberikan antara lain para tersangka tersebut belum pernah di hukum (baru pertama kali melakukan tindak pidana). Para tersangka diancam pidana tidak lebih dari lima tahun. Kerugian yang dialami oleh para korban tersebut dibawah Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah),” lanjutnya.
Burhanuddin mengatakan keadilan restoratif telah menjadi brand kejaksaan karena mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Namun, kata Burhanuddin, keadilan restoratif ini juga terkadang disalahartikan karena menganggap tindak pidana yang dilakukan masyarakat kecil semuanya bisa dilakukan dengan penghentian penuntutan.
“Restorative justice telah menjadi brand kejaksaan, di mana kebijakan tersebut mendapatkan respons yang sangat positif dari masyarakat. Tingginya animo masyarakat terhadap kebijakan ini berimbas pada terciptanya persepsi yang salah di masyarakat, yaitu bahwa semua tindak pidana atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat kecil bisa dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” ungkapnya.
Untuk itu, Burhanuddin meminta jajarannya menjaga kemurnian kebijakan restorative justice tersebut. Karena kebijakan itu, kata Burhanuddin, merupakan respons kejaksaaan dalam menjawab permasalahan hukum yang kurang memberi keadilan.
“Minta kepada jajaran kejaksaan untuk menjaga kemurnian kebijakan tersebut, di mana kebijakan tersebut merupakan respons kita (kejaksaan) dalam menjawab permasalahan hukum yang dirasa kurang memberikan rasa keadilan di tengah masyarakat,” ujar Burhanuddin.
Lebih lanjut, Burhanuddin meminta jajaran untuk tidak ragu dalam menentukan perkara mana yang akan dilakukan penghentian penuntutan. Para jaksa, menurutnya harus tetap bersikap profesional dan akuntabel untuk memberi pemahaman terkait kebijakan ini kepada masyarakat.
“Minta kepada seluruh jajaran untuk tidak gamang dan ragu-ragu dalam menentukan apakah perkara tersebut dapat dilakukan penghentian penuntuan berdasarkan keadilan restoratif atau tidak. Tetaplah bersikap profesional dan akuntabel serta berikan pemahaman secara masif bagaimana suatu perkara tersebut bisa atau tidak dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, sehingga masyarakat mendapatkan pengetahuan dan pemahaman apakah perkara tersebut masuk ke dalam kualifikasi restorative justice atau tidak,” tuturnya.(net)
Komentar